Kamis, 20 Oktober 2011

Tradisi Tabur Bunga (Nyekar) dalam Pandangan Islam


Bismillah,
Perbuatan ini sering dilakukan oleh para peziarah kubur. Kami tidak menemukan satu pun riwayat valid yang menunjukkan bahwa rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya melakukan hal yang serupa ketika menziarahi suatu kubur.

Berdasarkan keterangan para ulama, perbuatan ini merupakan tradisi yang diambil dari orang-orang kafir, khususnya kaum Nasrani. Tradisi tebar bunga dipandang sebagai bentuk penghormatan terhadap orang yang telah wafat. Tradisi tersebut kemudian diserap dan dipraktekkan oleh sebagian kaum muslimin yang memiliki hubungan erat dengan orang-orang kafir, karena memandang perbuatan mereka merupakan salah satu bentuk kebaikan terhadap orang yang telah wafat.

Seorang ulama hadits Mesir, Syaikh Ahmad Syakir rahimahullah mengatakan :
“Perbuatan ini digalakkan oleh kebanyakan orang, padahal hal tersebut tidak memiliki sandaran dalam agama. Hal ini dilatarbelakangi oleh sikap berlebih-lebihan dan sikap mengekor kaum Nasrani. Apa yang terjadi, khususnya di negeri Mesir merupakan contoh dari hal ini. Orang Mesir pun melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara atau saling menghadiahkan bunga sesama mereka. Orang-orang meletakkan bunga di atas pusara kerabat atau kolega mereka sebagai bentuk penghormatan kepada mereka yang telah wafat” Beliau melanjutkan, “Oleh karena itu, apabila para tokoh muslim mengunjungi sebagian negeri Eropa, anda dapat menyaksikan mereka menziarahi pekuburan para tokoh di negeri tersebut atau ke pekuburan para pejuang tanpa nama kemudian melakukan tradisi tebar bunga, sebagian lagi meletakkan bunga imitasi karena mengekor Inggris dan mengikuti tuntunan hidup kaum terdahulu” Lalu di akhir perkataan, beliau menyatakan,

“Semua ini adalah perbuatan bid’ah dan kemungkaran yang tidak berasal dari agama Islam, tidak pula memiliki sandaran dari Al Qur-an dan sunnah nabi. Dan kewajiban para ulama adalah mengingkari dan melarang segala tradisi ini sesuai kemampuan mereka” (Ta’liq Ahmad Syakir terhadap Sunan At Tirmidzi1/103, dinukil dari Ahkaamul Janaaiz hal. 254).

Oleh karena itu tradisi yang banyak dilakukan oleh kaum muslimin ini tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam agar tidak mengekor kebudayaan khas kaum kafir sebagaimana yang termaktub dalam sabda beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam ,

ومن تشبه بقوم فهو منهم

“Barangsiapa menyerupai suatu kaum ,maka ia termasuk golongan mereka” (HR. Ahmad nomor 5114, 5115 dan 5667; Sa’id bin Manshur dalam Sunannya nomor 2370; Ibnu Abi Syaibah dalam Mushannafnya nomor 19401, 19437 dan 33010. Al ‘Allamah Al Albani menghasankan hadits ini dalam Al Irwa’ 5/109).

Ibnu ‘Abdil Barr al Maliki rahimahullah mengatakan, “(Maksudnya orang yang menyerupai suatu kaum) akan dikumpulkan bersama mereka di hari kiamat kelak. Dan bentuk penyerupaan bisa dengan meniru perbuatan yang dilakukan oleh kaum tersebut atau dengan meniru rupa mereka” (At Tamhid lima fil Muwaththa minal Ma’ani wal Asaanid 6/80).

Sebagian kaum muslimin menganalogikan tradisi tabur bunga ini dengan perbuatan Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam yang menancapkan pelepah kurma basah pada dua buah kubur sebagaimana yang terdapat dalam hadits ‘Abdullah bin ‘Abbas radliallahu ‘anhuma (HR. Bukhari nomor 8 dan Muslim nomor 111). Mereka beranggapan bahwa pelepah kurma atau bunga yang diletakkan di atas pusara akan meringankan adzab penghuninya, karena pelepah kurma atau bunga tersebut akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah.

Anggapan mereka tersebut tertolak dengan beberapa alasan sebagai berikut :
Alasan pertama, keringanan adzab kubur yang dialami kedua penghuni kubur tersebut adalah disebabkan do’a dan syafa’at Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam kepada mereka, bukan pelepah kurma tersebut. Hal ini dapat diketahui jika kita melihat riwayat Jabir bin ‘Abdillah radliallahu ‘anhu. Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

إني مررت بقبرين يعذبان فأحببت بشفاعتي أن يرفه عنهما ما دام الغصنان رطبين

“Saya melewati dua buah kubur yang penghuninya tengah diadzab. Saya berharap adzab keduanya dapat diringankan dengan syafa’atku selama kedua belahan pelepah tersebut masih basah” (HR. Muslim nomor 3012).

Hadits Jabir di atas menerangkan bahwa yang meringankan adzab kedua penghuni kubur tersebut adalah do’a dan syafa’at nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam , bukan pelepah kurma yang basah.

Alasan kedua, anggapan bahwa pelepah kurma atau bunga akan bertasbih kepada Allah selama dalam keadaan basah sehingga mampu meringankan adzab penghuni kubur bertentangan dengan firman Allah ta’ala,
تُسَبِّحُ لَهُ السَّمَاوَاتُ السَّبْعُ وَالأرْضُ وَمَنْ فِيهِنَّ وَإِنْ مِنْ شَيْءٍ إِلا يُسَبِّحُ بِحَمْدِهِ وَلَكِنْ لا تَفْقَهُونَ تَسْبِيحَهُمْ إِنَّهُ كَانَ حَلِيمًا غَفُورًا (٤٤)

“Langit yang tujuh, bumi dan semua yang ada di dalamnya bertasbih kepada Allah. Dan tak ada suatupun melainkan bertasbih dengan memuji-Nya, tetapi kamu sekalian tidak mengerti tasbih mereka. Sesungguhnya Dia adalah Maha Penyantun lagi Maha Pengampun” (QS. Al Israa: 44).

Makhluk hidup senantiasa bertasbih kepada Allah, begitupula pelepah kurma. Tidak terdapat bukti yang menunjukkan bahwa pelepah kurma atau bunga akan berhenti bertasbih jika dalam keadaan kering.

Alasan ketiga, perbuatan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tersebut bersifat kasuistik (waqi’ah al-’ain) dan termasuk kekhususan beliau sehingga tidak bisa dianalogikan atau ditiru. Hal ini dikarenakan beliau tidak melakukan hal yang serupa pada kubur-kubur yang lain. Begitupula para sahabat tidak pernah melakukannya, kecuali sahabat Buraidah yang berwasiat agar pelepah kurma diletakkan di dalam kuburnya bersama dengan jasadnya. Namun, perbuatan beliau ini hanya didasari oleh ijtihad beliau semata.

Ibnu Hajar rahimahullah berkata,
“Perbuatan Buraidah tersebut seakan-akan menunjukkan bahwa beliau menerapkan hadits tersebut berdasarkan keumumannya dan tidak beranggapan bahwa hal tersebut hanya dikhususkan bagi kedua penghuni kubur tersebut. Ibnu Rusyaid berkata, “Apa yang dilakukan oleh Al Bukhari menunjukkan bahwa hal tersebut hanya khusus bagi kedua penghuni kubur tersebut, oleh karena itu Al Bukhari mengomentari perbuatan Buraidah tersebut dengan membawakan perkataan Ibnu ‘Umar, Sesungguhnya seorang (di alam kubur) hanya akan dinaungi oleh hasil amalnya (di dunia dan bukan pelepah kurma yang diletakkan di kuburnya)” (Fathul Baari 3/223).

Selain itu, pelepah kurma tersebut ditaruh bersama dengan jasad beliau, bukan diletakkan di atas pusara beliau.

Alasan keempat, alasan lain yang membatalkan analogi mereka dan menguatkan bahwa perbuatan nabi tersebut merupakan kekhususan beliau adalah pengetahuan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bahwa kedua penghuni kubur tersebut tengah diadzab. Hal ini merupakan perkara gaib yang hanya diketahui oleh Allah ta’aladan para rasul yang diberi keistimewaan oleh-Nya sehingga mampu mengetahui beberapa perkara gaib dengan wahyu yang diturunkan kepadanya. Allah berfirman,

عَالِمُ الْغَيْبِ فَلا يُظْهِرُ عَلَى غَيْبِهِ أَحَدًا (٢٦)إِلا مَنِ ارْتَضَى مِنْ رَسُولٍ فَإِنَّهُ يَسْلُكُ مِنْ بَيْنِ يَدَيْهِ وَمِنْ خَلْفِهِ رَصَدًا (٢٧)

(Dia adalah Rabb) yang mengetahui yang ghaib, maka Dia tidak memperlihatkan kepada seorangpun tentang yang ghaib itu. Kecuali kepada rasul yang diridhai-Nya” (QS. Al Jinn: 26-27).

Kalangan yang menganalogikan tradisi tebar bunga dengan perbuatan nabi tersebut telah mengklaim bahwa mereka mengetahui perkara gaib. Mereka mengklaim mengetahui bahwa penghuni kubur sedang diadzab sehingga pusaranya perlu untuk ditaburi bunga. Sungguh ini klaim tanpa bukti, tidak dilandasi ilmu dan termasuk menerka-nerka perkara gaib yang dilarang oleh agama.

Alasan kelima, hal ini mengandung sindiran dan celaan kepada penghuni kubur, karena jika alasan mereka demikian, hal tersebut merupakan salah satu bentuk berburuk sangka (su’uzh zhan) kepada penghuni kubur karena menganggapnya sebagai pelaku maksiat yang tengah diadzab oleh Allah di dalam kuburnya sebagai balasan atas perbuatannya di dunia. (Rangkuman faidah ini kami ambil dari Ahkaamul Janaa-iz, Taisirul ‘Allamdan uraian dari ustadzuna tercinta, Abu Umamah hafizhahullah ta’ala saat mengkaji kitab ‘Umdatul Ahkam).

Berdasarkan keterangan di atas, kita dapat mengetahui bahwa tradisi ini selayaknya ditinggalkan dan tidak perlu dilakukan ketika berziarah kubur karena tercakup dalam larangan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam. Kita juga mengetahui bahwa tidak terdapat riwayat valid yang menyatakan bahwa para sahabat dan generasi salaf melakukan tradisi tebar bunga di atas pusara. Hal ini menunjukkan bahwa perbuatan tersebut tidak dituntunkan oleh syari’at kita.

Oleh karena itu, kita patut merenungkan pernyataan As Subki yang telah lewat, bahwa segala perbuatan yang tidak pernah diperintahkan dan dilakukan nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para sahabatnya merupakan indikasi bahwa amalan tersebut tidak disyari’atkan. Dalam pernyataan beliau tersebut terkandung kaidah dasar dalam pensyari’atan sebuah amalan.
Wallahu a'lam.


Sumber : http://ikhwanmuslim.com/akidah-dan-manhaj/kekeliruan-dalam-berziarah-kubur-4


Read more: http://www.abuayaz.co.cc/2011/07/tradisi-tabur-bunga-nyekar-dalam.html#ixzz1bRIOsOsE

Kebahagiaan Itu Ada di Sini


Ada ungkapan yang sangat dalam maknanya, disampaikan Syaikh Abi Madiin dalam kitab Tahdzib Madarijus Salikin. Katanya, "Orang yang telah benar-benar melakukan hakikat penghambaan (ubudiyah), akan melihat perbuatannya dari kaca mata riya. Melihat keadaan dirinya dengan mata curiga. Melihat perkataannya dengan mata tuduhan." Ia lantas menjelaskan bahwa kondisi seperti itu muncul karena semakin besarnya tuntutan kesempurnaan dalam diri seseorang. "Semakin tinggi tuntutan dalam hatimu, maka semakin kecillah kamu memandang dirimu sendiri. Dan akan semakin mahal harga yang harus ditunaikan untuk memperoleh tuntutan hatimu itu." (Tahdzib Madarijus Salikin, 119)

Maka, jangan hentikan perenungan dan muhasabah diri kita masing-masing. Sungguh banyak lubang yang harus kita waspadai di tengah hidup yang penuh fitnah dan tipu daya ini.
Manusia, diciptakan dalam keadaan susah payah. Memang itulah ketentuan Allah swt. Al-Qur’an menyinggung masalah ini dalam firman-Nya, "Laqad khalaq nal insaana fii kabad" ; Sungguh telah Kami ciptakan manusia dalam keadaan kabad atau susah payah. (QS. Al Balad: 4). Kata `kabad’ dalam kamus Mu’jam Al Washit didefinisikan dengan kata masyaqqah wa `ana artinya kesulitan dan kesusahan. Ya, sulit dan susah. Itulah yang pasti akan menghiasi hidup semua.
Jangan merasa heran dengan kenyataan hidup. Jangan heran dengan terpaan masalah hidup. Sudah terlampau banyak firman Allah swt dan petunjuk Rasulullah saw yang menuntun kita untuk memahami realitas itu. Hidup itu memang tempat kita ditempa, diuji dengan semua keadaannya. "Kami akan mengujimu dengan keburukan dan kebaikan sebagai cobaan (yang sebenar-benarnya). Dan, hanya kepada Kami lah kamu dikembalikan." Begitulah Allah berfirman dalam surat Al-Anbiya ayat 35.
Banyaknya peringatan Al-Qur’an tentang kehidupan, adalah agar kita tidak kaget dengan bencana, musibah, dan ragam masalah hidup. Orang yang telah mengetahui sebelum merasakan sesuatu yang berat, tentu akan lebih ringan tatkala ia merasakannya. Orang yang belum mengetahui sesuatu yang sulit, pasti akan terkejut dan merasa terlalu payah saat ia mengalami kesulitan. Begitulah.
Abu Sa’id Al Khudri ra dahulu pernah menjenguk Rasulullah saw saat beliau menderita demam, menjelang wafatnya. "Kuletakkan tanganku di badannya. Aku merasakan panas di tanganku di atas selimut. Lalu aku berkata: "Wahai Rasulullah, alangkah kerasnya sakit ini." Rasul mengatakan, "Begitulah kami (para nabi). Cobaan dilipatkan kepada kami dan pahala juga ditingkatkan bagi kami." Aku bertanya, "Wahai Rasulullah, siapakah orang yang paling berat cobaannya?" Beliau menjawab: "Para nabi." Aku bertanya lagi, "Wahai Rasulullah, kemudian siapa lagi?" Rasul mengatakan, "Orang-orang shalih. Apabila salah seorang di antara mereka diuji dengan kemiskinan, adalah sampai salah seorang mereka diuji tidak mendapatkan apapun kecuali mantel yang kumpulkan. Tapi, bila seorang diantara mereka diberi ujian kesenangan, adalah sebagaimana salah seorang di antara kalian senang karena kemewahan." (HR. Ibnu Majah)
Kita pasti ingin hidup bahagia, jauh dari kesulitan dan kesedihan. Tak ada masalah yang memberatkan. Ya, kita semua ingin bahagia. Dan kebahagiaan hidup yang sejati itu, hanya bisa dicapai melalui kedekatan kepada Allah, melalui amal-amal ibadah dan keshalihan. Hanya itu jalannya.
Coba renungkan, bagaimana kondisi hati, ketika kita melakukan aktivitas ibadah kepada Allah swt. Renungkan juga, bagaimana suasana kalbu saat kita melakukan ibadah shalat yang dilakukan dengan berjamaah. Gembirakah? Senangkah? Bercahayakah? Jawabannya, iya. Pasti. Dengarlah, bagaimana bunyi do’a yang dianjurkan oleh Rasul saw, untuk dibaca kala kita melangkah ke masjid, "Ya Allah, jadikanlah di dalam hatiku cahaya. Di dalam ucapanku cahaya. Jadikanlah pada pendengaranku cahaya. Jadikanlah pada penglihatanku cahaya. Jadikanlah dari belakangku cahaya dan dari depanku cahaya. Jadikanlah dari atasku cahaya dan dari bawahku cahaya. Ya Allah berikanlah kepadaku cahaya, dan jadikanlah aku cahaya." (HR. Muslim dun Abu Dawud)
Cahaya itu yang akan menerangi jiwa. Jiwa yang bercahaya pasti akan merasakan kebahagiaan dan ketenangan. Itulah inti kehidupan yang sering dilupakan manusia. Mungkin oleh kita juga. Kita banyak yang mencari-cari suplai kebahagiaan dari sumber yang tidak memiliki kebahagiaan yang memberi ketenangan. Kita sering menggantungkan kebahagiaan dari keadaan dan kondisi yang sebenarnya tidak menyusupkan kebahagiaan yang menentramkan hati.
Ibnul Qayyim mengistilahkan keadaan rasa bahagia dan tenang dalam jiwa dengan istilah rahmah bathiniyah (kasih sayang batin), yang Allah berikan kepada hamba-Nya yang melakukan ketaatan. Kasih sayang batin itu adalah sentuhan perasaan dalam hati seseorang, yang mendapat musibah berupa ketenangan dan ketentraman. Tidak resah dan tidak khawatir. Perhatikanlah kata-katanya menggambarkan keadaan seseorang yang mendapat kasih sayang batin itu, "Seorang hamba bisa justru menjadi sangat sibuk merasakan kasih sayang-Nya, saat ia menghadapi penderitaan yang berat. Dia berpikir seperti itu, karena yakin bahwa itu adalah pilihan terbaik yang ditetapkan kepada-Nya."
Saudaraku,
Di sinilah hakikat kebahagiaan hidup, yang kita cari…
Wallahu’alam

RiSaU,,(Renungan)


Hari itu, seseorang menjumpai Umar bin Abdul Aziz. Khalifah dari Bani Umayyah yang sangat terkenal itu. Didapatinya Umar sedang menangis. Sendirian.
“Mengapa engkau menangis wahai Amirul Mukminin?” tanya orang itu dengan hati-hati. “Bukankah engkau telah menghidupkan banyak sunnah dan menegakkan keadilan?” tanya orang itu lagi dengan nada menghibur.
Umar masih terus menangis. Tidak ada tanda-tanda ia akan berhenti dari tangisnya. Beberapa saat kemudian, barulah ia menyahut seraya berkata, ”Bukankah aku kelak akan dihadapkan pada pengadilan Allah, kemudian aku ditanya tentang rakyatku. Demi Allah, kalau benar aku telah berbuat adil terhadap mereka, aku masih mengkhawatirkan diri ini. Khawatir kalau diri ini tidak dapat menjawab pertanyaan seandainya banyak hak rakyatku yang aku dzalimi?”
Air mata Umar terus mengalir dengan derasnya. Tidak lama berselang setelah hari itu, Umar menghadap Allah subhanahu wataala. Ia pergi untuk selama-lamanya.
Umar bin Abdul Aziz, yang menangis dan terus menangis itu, hanyalah satu contoh dari kisah ’orang-orang risau’. Ya, orang-orang yang selalu punya waktu untuk merasa risau, gundah, dan khawatir.
Bahkan sebagian mereka mengkhususkan waktu-waktu tertentu untuk risau. Risau terhadap dirinya, terhadap orang-orang di sekitarnya, atau terhadap beban dan tanggung jawab yang dipikulnya.
Paradigma orang yang menemui Umar, dalam kisah di atas, sangat berbeda dengan paradigma Umar, yang tetap saja menangis. Orang itu bertanya heran mengapa Umar masih menangis, karena dalam pandangan dirinya, Umar sudah sangat terkenal keshalihan dan kebajikannya. Umar telah banyak melakukan kebaikan, berlaku adil kepada rakyat. Dan bahkan mengantarkan mereka kepada kehidupan yang makmur dan damai.
Tetapi Umar tetap menangis. Tangis kerisauan dari seseorang yang mengerti betul bagaimana ia mesti ber-etika di hadapan Tuhannya. Tangis Umar adalah ekspresi kerisauan. Kerisauan seorang penguasa yang memikul tanggung jawab berat. Tanggung jawab memimpin ribuan rakyat. Ia juga tangis seorang yang telah menapaki tangga-tangga hikmah. Yang keluasan ilmu dan amalnya semakin membuatnya merunduk dan merendah.
Kerisauan seorang Umar, adalah bukti bahwa setinggi apapun derajat hidup orang, sesungguhnya Ia bisa risau. Meski kerisauan setiap orang berbeda antara yang satu dengan yang lainnya. Bahkan justru di sinilah inti permasalahannya. Ialah bahwa sejarah selalu mencatat, orang-orang besar sepanjang jaman, adalah orang-orang yang punya waktu untuk risau, mengerti mengapa harus risau, dan apa yang mereka risaukan. Sebagian bahkan meniti awal kebesarannya dari awal kerisauannya.
Sebab rasa risau adalah titik api pertama, yang akan melontarkan sikap-sikap positif berikutnya, lalu membakarnya hingga menjadi matang. Sikap mawas, selalu mengevaluasi diri, tidak besar kepala, bertanggung jawab, tidak mengambil hak orang, dan lain-lainnya. Keseluruhan sikap-sikap itu, pemantiknya adalah risau.
Sejarah tidak pernah memberi tempat bagi orang-orang yang tidak pernah risau, selalu merasa aman, enjoy sepanjang hidup, tanpa beban sedikitpun, untuk dicatat dalam daftar orang-orang besar. Karena risau tidak saja simbol kesukaan akan tantangan, dinamika dan kompetisi, tapi risau juga kendali dan sumber inspirasi bagi segala sikap kehati-hatian.
Dalam pengertian inilah, kita memahami peringatan Allah, bahwa seorang Mukmin, dan bahkan setiap manusia, tidak boleh merasa aman dari adzab Allah. Orang-orang yang merasa aman, tidak pernah merasa risau, tidak punya waktu untuk risau, dan bahkan tidak mengerti mengapa harus risau, adalah orang-orang yang rugi.
Simaklah firman Allah yang artinya, ”Maka apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di malam hari di waktu mereka sedang tidur? Atau apakah penduduk negeri-negeri itu merasa aman dari kedatangan siksaan Kami kepada mereka di waktu matahari sepenggalahan naik ketika mereka sedang bermain? Maka apakah mereka merasa aman dari adzab Allah (yang tidak terduga-duga)? Tiadalah yang merasa aman dari adzab Allah kecuali orang-orang yang merugi. " (QS. Al-A’raf: 97 - 99).
Ayat tersebut sedemikian jelas memaparkan, bahwa merasa aman dari adzab Allah adalah tindakan yang salah. Kuncinya sangat sederhana. Karena manusia tidak pernah tahu apa yang akan terjadi esok hari. Bahkan ia juga tidak bisa memastikan, apa yang akan terjadi beberapa menit kemudian. Bisa jadi besok ia melakukan kesalahan, lalu sesudah itu ia mendapat adzab. Bisa juga ia tidak melakukan kesalahan. Tetapi juga mendapat imbas adzab dari kesalahan yang dilakukan orang lain.
Hidup ini seperti hutan belantara yang sangat lebat. Manusia dan keseluruhan makhluk saling berlomba di dalamnya. Berpacu, beradu, berlomba, atau juga saling bekerjasama. Lebatnya belantara hidup membuat hidup begitu liat, keras, dan kadang harus saling mengalahkan. Dalam seluruh denyut kehidupan itu manusia terikat oleh serabut-serabut panjang dan saling berhimpitan. Ujung serabut itu terikat dengan makhluk-makhluk itu. Sedang pangkalnya ada dalam genggaman tangan-tangan Allah. Serabut-serabut itu adalah kekuasaan Allah, yang dari sana lahir takdir-takdir bagi keseluruhan hidup manusia.
Maka, rasa risau, dalam tatanan Islam adalah awal dari rasa ketergantungan kepada sumber-sumber yang memberi rasa aman. Dan, sumber utama rasa aman itu adalah Allah. Yang Maha Kuat lagi Maha Melindungi. Karenanya, orang-orang seperti Umar sangat memahami betapa risau haginya adalah sebuah proses produktif seseorang dalam berinteraksi dengan Tuhannya. Ia risau dan karenanya ia menangis. Ia menangis dan karenanya ia berharap.
Kita, di sini, sekumpulan orang-orang yang tak akan sampai menyamai Umar bin Abdul Aziz, apalagi melampaui, semestinya menjadi orang-orang yang akhirnya mengerti darimana sebuah kebesaran dimulai. Bahkan, sebuah harapan, ternyata, mula-mula adalah segumpal risau.
Salah satu kebutuhan penting dalam hidup, adalah merisaukan diri. Ia semacam rumah-rumah kecil untuk persinggahan, bagi keseluruhan alur dan aliran semangat serta gelora hidup kita. Sebuah risau adalah tali penyeimbang antara menengok ke belakang dan berhati-hati menatap ke depan.
Maka seperti apakah risau kita hari ini?
http://beranda.blogsome.com

Belajar Bahasa Arab 1


الدَّرْسُ الأَوَّل
الضَّمَائِر الْمُنْفَصِلَة
(Kata Ganti)
أ- الْمُحَادَثَة:
أَحْمَد : السَّلاَمُ عَلَيْكُم
 (Assalamu’alaikum)
مُحَمَّد  : وَعَلَيْكُمُ السَّلاَم
  (Wa’alaikumussalam)
أحمد  : كَيْفَ حَالُك يَا أَخِي؟
 (Kaifa haluk ya akhii / Apa kabarmu, wahai Saudaraku)
محمد  : الْحَمْدُ ِلله، أَنَا بِخَيْر، وَأَنْتَ؟
  (Alhamdulillah, ana bikhair, wa anta? / Alhamdulillah saya baik-baik saja, bagaimana denganmu?)
أحمد   : أَنَا بِخَيْر أَيْضًا
  (Anaa bikhair aidhan / Saya juga)
محمد   : مَا اِسْمُك؟
(Maa ismuk? / Siapa nama Anda? )
أحمد   : اِسْمِي أَحْمَد، وَأَنْتَ؟
 (Ismii Ahmad, wa anta? / Nama saya Ahmad, kamu?)
محمد   : اِسْمِي مُحَمَّد
(Ismii Muhammad / Nama saya Muhammad)

ب- الْقَوَاعِد:
أَنَا
Anaa
(Saya lk/pr)
أَنْتَ
Anta
(Anda lk)
أَنْتِ
Anti
(Anda pr)
هُوَ
Huwa
(Dia lk)
هِيَ
Hiya
(Dia pr)
مُسْلِم / مُسْلِمَة
Muslim / Muslimah
مُسْلِم
مُسْلِمَة
مُسْلِم
مُسْلِمَة
مُؤْمِن / مُؤْمِنَة
Mu`min / Mu`minah




طَالِب / طَالِبَة
Thaalib / Thaalibah (Siswa/siswi)




حَاضِر / حَاضِرَة
Haadhir / haadhirah (orang yang hadir)




مُوَظَّف / مُوَظَّفَة
Muwadhdhaf / Muwadhdhafah (Karwayan/karyawati)




قَارِئ / قَارِئَة
Qaari` / Qaari`ah
(Orang yang membaca)




Keterangan:
-          Untuk laki-laki (maskulin), tidak menggunakan taa` marbuthah, sedang untuk perempuan (feminim), digunakan taa` marbuthah.

ج- التَّرْجَمَة:
Sekarang, cobalah terjemahkan kalimat-kalimat berikut ini! Bila ada kata-kata yang belum disebutkan di atas, maka Anda dapat melihatnya di bagian mufradaat (vocabulary).
  1. Nama saya Agus. Saya seorang karyawan di Jakarta
  2. Apakah Anda (lk) seorang mahasiswa di Universitas Islam?
  3. Fathimah seorang Muslimah. Dia tinggal di Radio Dalam.
  4. Ahmad karyawan yang rajin. Dia hadir selalu di kantor.

د- الْمُفْرَدَات:
- فِيْ                  :       fii (di)
- هَلْ                  :       hal (apakah)
- الْجَامِعَة الإِسْلاَمِيَّة   :       al-jaami’ah al-islaamiyyah (Universitas Islam)
- سَاكِن / سَاكِنَة     :       saakin / saakinah (tinggal)
 - مَجْتَهِد              :       mujtahid (rajin)
- دَائِمًا                        :       daa`iman (selalu)
- الْمَكْتَب             :       al-maktab (kantor) 

Perbandingan Orang yang Gemar Berderma dengan Orang Pelit

Sebuah faedah berharga dari Abul ‘Abbas Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah. Beliau berkata mengenai keadaan baik orang yang gemar berderma (bersedekah) dan keadaan buruk orang yang pelit (bakhil). Beliau berkata dalam Majmu’ Fatawanya,
Berbuat baik dan takwa akan selalu menenangkan jiwa dan melapangkan hati sehingga orang tersebut di hatinya menjadi lapang (tenang) dari sebelumnya. Ketika seseorang berbuat baik dan semaki bertakwa, Allah pun melapangkan dan menyejukkan hatinya. Sebaliknya, maksiat dan sifat pelit menyempitkan jiwa. Sifat tersebut malah menyia-nyiakan dan menyengsarakan jiwa. Karena memang orang yang pelit dalam hatinya selalu merasa sempit.
Disebutkan dalam hadits,
مَثَلُ الْبَخِيلِ وَالْمُتَصَدِّقِ كَمَثَلِ رَجُلَيْنِ عَلَيْهِمَا جُبَّتَانِ مِنْ حَدِيدٍ قَدْ اُضْطُرَّتْ أَيْدِيهمَا إلَى تَرَاقِيهِمَا . فَجَعَلَ الْمُتَصَدِّقُ كُلَّمَا هَمَّ بِصَدَقَةِ اتَّسَعَتْ وَانْبَسَطَتْ عَنْهُ حَتَّى تَغْشَى أَنَامِلَهُ . وَتَعْفُوَ أَثَرَهُ وَجَعَلَ الْبَخِيلُ كُلَّمَا هَمَّ بِصَدَقَةِ قلصت وَأَخَذَتْ كُلُّ حَلْقَةٍ بِمَكَانِهَا وَأَنَا رَأَيْت رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ بِإِصْبَعِهِ فِي جَيْبِهِ فَلَوْ رَأَيْتهَا يُوَسِّعُهَا فَلَا تَتَّسِعُ
Perumpamaan bakhil (orang yang pelit bershadaqah) dengan mutashoddiq (orang yang gemar bershadaqah) seperti dua orang yang masing-masing mengenakan baju jubah terbuat dari besi yang terpotong bagian lengannya hingga tulang selangka keduanya. Setiap kali mutashoddiq hendak bershadaqah maka bajunya akan melonggar dan akhirnya menutupi ujung kakinya dan bekas jalannya. Jika orang yang bakhil (pelit) ingin berinfak, baju besinya mengerut, dan setiap baju besi tetap di tempatnya (tidak melebar). (Abu Hurairah berkata), “Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam sambil meletakkan jari-jarinya di sakunya beliau berkata : Kalau engkau melihatnya (orang yang bakhil) melonggarkannya niscaya sakunya tetap tidak menjadi longgar"”[1]
Sumber: Majmu’ Al Fatawa, Ibnu Taimiyah, 10/629.
Semoga jadi renungan berharga di malam ini. Semoga nasehat singkat ini semakin memotovasi kita untuk gemar berderma dan tidak bersifat pelit. Jangan pula terlalu khawatir harta itu berkurang karena sedekah karena tidak pernah orang itu jadi miskin karena sedekah.

Valuable record after ‘Isya’ on 6th Dzulhijjah 1431 H, 12/11/2010 in King Saud University, Riyadh, Kingdom of Saudi Arabia
Written by: Muhammad Abduh Tuasikal


[1] HR. Bukhari no. 2917 dan Muslim no. 1021, dari Abu Hurairah.

Keutamaan Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijah

Alhamdulillah, Allah subhanahu wa ta’ala masih memberikan kita berbagai macam nikmat, kita pun diberi anugerah akan berjumpa dengan bulan Dzulhijah. Berikut kami akan menjelasakan keutamaan beramal di awal bulan Dzulhijah dan apa saja amalan yang dianjurkan ketika itu. Semoga bermanfaat.
Keutamaan Sepuluh Hari di Awal Bulan Dzulhijah
Di antara yang menunjukkan keutamaan sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah adalah hadits Ibnu ‘Abbas, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
« مَا مِنْ أَيَّامٍ الْعَمَلُ الصَّالِحُ فِيهَا أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ مِنْ هَذِهِ الأَيَّامِ ». يَعْنِى أَيَّامَ الْعَشْرِ. قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ قَالَ « وَلاَ الْجِهَادُ فِى سَبِيلِ اللَّهِ إِلاَّ رَجُلٌ خَرَجَ بِنَفْسِهِ وَمَالِهِ فَلَمْ يَرْجِعْ مِنْ ذَلِكَ بِشَىْءٍ ».
"Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."[1]
Di antaranya lagi yang menunjukkan keutamaan hari-hari tersebut adalah firman Allah Ta’ala,
وَلَيَالٍ عَشْرٍ
Dan demi malam yang sepuluh.” (QS. Al Fajr: 2). Di sini Allah menggunakan kalimat sumpah. Ini menunjukkan keutamaan sesuatu yang disebutkan dalam sumpah.[2] Makna ayat ini, ada empat tafsiran dari para ulama yaitu: sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah, sepuluh hari terakhir bulan Ramadhan, sepuluh hari pertama bulan Ramadhan dan sepuluh hari pertama bulan Muharram.[3] Malam (lail) kadang juga digunakan untuk menyebut hari (yaum), sehingga ayat tersebut bisa dimaknakan sepuluh hari Dzulhijah.[4] Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan bahwa tafsiran yang menyebut sepuluh hari Dzulhijah, itulah yang lebih tepat. Pendapat ini dipilih oleh mayoritas pakar tafsir dari para salaf dan selain mereka, juga menjadi pendapat Ibnu ‘Abbas.[5]
Keutamaan Beramal di Sepuluh Hari Pertama Bulan Dzulhijah
Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda, "Tidak ada satu amal sholeh yang lebih dicintai oleh Allah melebihi amal sholeh yang dilakukan pada hari-hari ini (yaitu 10 hari pertama bulan Dzul Hijjah)." Para sahabat bertanya: "Tidak pula jihad di jalan Allah?" Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab: "Tidak pula jihad di jalan Allah, kecuali orang yang berangkat jihad dengan jiwa dan hartanya namun tidak ada yang kembali satupun."[6]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hadits ini menunjukkan bahwa amalan di sepuluh hari pertama bulan Dzulhijah lebih dicintai oleh Allah daripada hari-hari lainnya dan di sini tidak ada pengecualian. Jika dikatakan bahwa amalan di hari-hari tersebut lebih dicintai oleh Allah, itu menunjukkan bahwa beramal di waktu itu adalah sangat utama di sisi-Nya.”[7]
Bahkan jika seseorang melakukan amalan yang mafdhul (kurang utama) di hari-hari tersebut, maka bisa jadi lebih utama daripada seseorang melakukan amalan yang utama di selain sepuluh hari awal bulan Dzulhijah. Karena Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam ketika ditanya, “Tidak pula jihad di jalan Allah?” Beliau pun menjawab, “Tidak pula jihad di jalan Allah.” Lalu beliau memberi pengecualian yaitu jihad dengan mengorbankan jiwa raga. Padahal jihad sudah kita ketahui bahwa ia adalah amalan yang mulia dan utama. Namun amalan yang dilakukan di awal bulan Dzulhijah tidak kalah dibanding jihad, walaupun amalan tersebut adalah amalan mafdhul (yang kurang utama) dibanding jihad.[8]
Ibnu Rajab Al Hambali mengatakan, “Hal ini menunjukkan bahwa amalan mafdhul (yang kurang utama) jika dilakukan di waktu afdhol (utama) untuk beramal, maka itu akan menyaingi amalan afdhol (amalan utama) di waktu-waktu lainnya. Amalan yang dilakukan di waktu afdhol untuk beramal akan memiliki pahala berlebih karena pahalanya yang akan dilipatgandakan.”[9]Mujahid mengatakan, “Amalan di sepuluh hari pada awal bulan Dzulhijah akan dilipatgandakan.”[10]
Sebagian ulama mengatakan bahwa amalan pada setiap hari di awal Dzulhijah sama dengan amalan satu tahun. Bahkan ada yang mengatakan sama dengan 1000 hari, sedangkan hari Arofah sama dengan 10.000 hari. Keutamaan ini semua berlandaskan pada riwayat fadho’il yang lemah (dho’if). Namun hal ini tetap menunjukkan keutamaan beramal pada awal Dzulhijah berdasarkan hadits shohih seperti hadits Ibnu ‘Abbas yang disebutkan di atas.[11]
Amalan yang Dianjurkan di Sepuluh Hari Pertama Awal Dzulhijah
Keutamaan sepuluh hari awal Dzulhijah berlaku untuk amalan apa saja, tidak terbatas pada amalan tertentu, sehingga amalan tersebut bisa shalat, sedekah, membaca Al Qur’an, dan amalan sholih lainnya.[12] Di antara amalan yang dianjurkan di awal Dzulhijah adalah amalan puasa. Dari Hunaidah bin Kholid, dari istrinya, beberapa istri Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallammengatakan,
عَنْ بَعْضِ أَزْوَاجِ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- قَالَتْ كَانَ رَسُولُ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- يَصُومُ تِسْعَ ذِى الْحِجَّةِ وَيَوْمَ عَاشُورَاءَ وَثَلاَثَةَ أَيَّامٍ مِنْ كُلِّ شَهْرٍ أَوَّلَ اثْنَيْنِ مِنَ الشَّهْرِ وَالْخَمِيسَ.
“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam biasa berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, pada hari ‘Asyura’ (10 Muharram), berpuasa tiga hari setiap bulannya[13], ...”[14]
Di antara sahabat yang mempraktekkan puasa selama sembilan hari awal Dzulhijah adalah Ibnu ‘Umar. Ulama lain seperti Al Hasan Al Bashri, Ibnu Sirin dan Qotadah juga menyebutkan keutamaan berpuasa pada hari-hari tersebut. Inilah yang menjadi pendapat mayoritas ulama. [15]
Namun ada sebuah riwayat dari ‘Aisyah yang menyebutkan,
مَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ -صلى الله عليه وسلم- صَائِمًا فِى الْعَشْرِ قَطُّ
Aku tidak pernah melihat Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa pada sepuluh hari bulan Dzulhijah sama sekali.[16] Mengenai riwayat ini, para ulama memiliki beberapa penjelasan.
Ibnu Hajar Al Asqolani mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam meninggalkan puasa ketika itu –padahal beliau suka melakukannya- karena khawatir umatnya menganggap puasa tersebut wajib.[17]
Imam Ahmad bin Hambal menjelaskan bahwa ada riwayat yang menyebutkan hal yang berbeda dengan riwayat ‘Aisyah di atas. Lantas beliau menyebutkan riwayat Hafshoh yang mengatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah meninggalkan puasa pada sembilan hari awal Dzulhijah. Sebagian ulama menjelaskan bahwa jika ada pertentangan antara perkataan ‘Aisyah yang menyatakan bahwa Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak pernah berpuasa sembilan hari Dzulhijah dan perkataan Hafshoh yang menyatakan bahwa beliau malah tidak pernah meninggalkan puasa sembilan hari Dzulhijah, maka yang dimenangkan adalah perkataan yang menetapkan adanya puasa sembilan hari Dzulhijah.
Namun dalam penjelasan lainnya, Imam Ahmad menjelaskan bahwa maksud riwayat ‘Aisyah adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa penuh selama sepuluh hari Dzulhijah. Sedangkan maksud riwayat Hafshoh adalah Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam berpuasa di mayoritas hari yang ada. Jadi, hendaklah berpuasa di sebagian hari dan berbuka di sebagian hari lainnya.[18]
Kesimpulan: Boleh berpuasa penuh selama sembilan hari bulan Dzulhijah (dari tanggal 1 sampai 9 Dzulhijah) atau berpuasa pada sebagian harinya.
Catatan: Kadang dalam hadits disebutkan berpuasa pada sepuluh hari awal Dzulhijah. Yang dimaksudkan adalah mayoritas dari sepuluh hari awal Dzulhijah, hari Idul Adha tidak termasuk di dalamnya dan tidak diperbolehkan berpuasa pada hari ‘Ied.[19]
Keutamaan Hari Arofah
Di antara keutamaan hari Arofah (9 Dzulhijah) disebutkan dalam hadits berikut,
مَا مِنْ يَوْمٍ أَكْثَرَ مِنْ أَنْ يُعْتِقَ اللَّهُ فِيهِ عَبْدًا مِنَ النَّارِ مِنْ يَوْمِ عَرَفَةَ وَإِنَّهُ لَيَدْنُو ثُمَّ يُبَاهِى بِهِمُ الْمَلاَئِكَةَ فَيَقُولُ مَا أَرَادَ هَؤُلاَءِ
Di antara hari yang Allah banyak membebaskan seseorang dari neraka adalah di hari Arofah (yaitu untuk orang yang berada di Arofah). Dia akan mendekati mereka lalu akan menampakkan keutamaan mereka pada para malaikat. Kemudian Allah berfirman: Apa yang diinginkan oleh mereka?”[20]
Itulah keutamaan orang yang berhaji. Saudara-saudara kita yang sedang wukuf di Arofah saat ini telah rela meninggalkan sanak keluarga, negeri, telah pula menghabiskan hartanya, dan badan-badan mereka pun dalam keadaan letih. Yang mereka inginkan hanyalah ampunan, ridho, kedekatan dan perjumpaan dengan Rabbnya. Cita-cita mereka yang berada di Arofah inilah yang akan mereka peroleh. Derajat mereka pun akan tergantung dari niat mereka masing-masing.[21]
Keutamaan yang lainnya, hari arofah adalah waktu mustajabnya do’a. Dari ‘Amr bin Syu’aib dari ayahnya dari kakeknya, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
خَيْرُ الدُّعَاءِ دُعَاءُ يَوْمِ عَرَفَةَ
Sebaik-baik do’a adalah do’a pada hari Arofah.[22] Maksudnya, inilah doa yang paling cepat dipenuhi atau terkabulkan.[23]Jadi hendaklah kaum muslimin memanfaatkan waktu ini untuk banyak berdoa pada Allah. Do’a pada hari Arofah adalah do’a yang mustajab karena dilakukan pada waktu yang utama.
Jangan Tinggalkan Puasa Arofah
Bagi orang yang tidak berhaji dianjurkan untuk menunaikan puasa Arofah yaitu pada tanggal 9 Dzulhijah. Hal ini berdasarkan hadits Abu Qotadah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
صِيَامُ يَوْمِ عَرَفَةَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ وَالسَّنَةَ الَّتِى بَعْدَهُ وَصِيَامُ يَوْمِ عَاشُورَاءَ أَحْتَسِبُ عَلَى اللَّهِ أَنْ يُكَفِّرَ السَّنَةَ الَّتِى قَبْلَهُ
Puasa Arofah dapat menghapuskan dosa setahun yang lalu dan setahun akan datang. Puasa Asyuro (10 Muharram) akan menghapuskan dosa setahun yang lalu.[24] Hadits ini menunjukkan bahwa puasa Arofah lebih utama daripada puasa ‘Asyuro. Di antara alasannya, Puasa Asyuro berasal dari Nabi Musa, sedangkan puasa Arofah berasal dari Nabi kita Muhammadshallallahu ’alaihi wa sallam.[25] Keutamaan puasa Arofah adalah akan menghapuskan dosa selama dua tahun dan dosa yang dimaksudkan di sini adalah dosa-dosa kecil. Atau bisa pula yang dimaksudkan di sini adalah diringankannya dosa besar atau ditinggikannya derajat.[26]
Sedangkan untuk orang yang berhaji tidak dianjurkan melaksanakan puasa Arofah.
Dari Ibnu ‘Abbas, beliau berkata,
أَنَّ النَّبِىَّ -صلى الله عليه وسلم- أَفْطَرَ بِعَرَفَةَ وَأَرْسَلَتْ إِلَيْهِ أُمُّ الْفَضْلِ بِلَبَنٍ فَشَرِبَ
“Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam tidak berpuasa ketika di Arofah. Ketika itu beliau disuguhkan minuman susu, beliau pun meminumnya.”[27]
Diriwayatkan dari Ibnu ‘Umar bahwa beliau ditanya mengenai puasa hari Arofah di Arofah. Beliau mengatakan,
حَجَجْتُ مَعَ النَّبِىِّ -صلى الله عليه وسلم- فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ أَبِى بَكْرٍ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُمَرَ فَلَمْ يَصُمْهُ وَمَعَ عُثْمَانَ فَلَمْ يَصُمْهُ. وَأَنَا لاَ أَصُومُهُ وَلاَ آمُرُ بِهِ وَلاَ أَنْهَى عَنْهُ
“Aku pernah berhaji bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan beliau tidak menunaikan puasa pada hari Arofah. Aku pun pernah berhaji bersama Abu Bakr, beliau pun tidak berpuasa ketika itu. Begitu pula dengan ‘Utsman, beliau tidak berpuasa ketika itu. Aku pun tidak mengerjakan puasa Arofah ketika itu. Aku pun tidak memerintahkan orang lain untuk melakukannya. Aku pun tidak melarang jika ada yang melakukannya.”[28]
Dari sini, yang lebih utama bagi orang yang sedang berhaji adalah tidak berpuasa ketika hari Arofah di Arofah dalam rangka meneladani Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam dan para Khulafa’ur Rosyidin (Abu Bakr, ‘Umar dan ‘Utsman), juga agar lebih menguatkan diri dalam berdo’a dan berdzikir ketika wukuf di Arofah. Inilah pendapat mayoritas ulama.[29]
Puasa Hari Tarwiyah (8 Dzulhijah)
Ada riwayat yang menyebutkan,
صَوْمُ يَوْمَ التَّرْوِيَّةِ كَفَارَةُ سَنَة
Puasa pada hari tarwiyah (8 Dzulhijah) akan mengampuni dosa setahun yang lalu.
Ibnul Jauzi mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih.[30] Asy Syaukani mengatakan bahwa hadits ini tidak shahih dan dalam riwayatnya ada perowi yang pendusta.[31] Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini dho’if (lemah).[32]
Oleh karena itu, tidak perlu berniat khusus untuk berpuasa pada tanggal 8 Dzulhijjah karena hadisnya dha’if (lemah). Namun jika berpuasa karena mengamalkan keumuman hadits shahih yang menjelaskan keutamaan berpuasa pada sembilan hari awal Dzulhijah, maka itu diperbolehkan. Wallahu a’lam.
Demikian pembahasan kami mengenai amalan di awal Dzulhijah. Ada sedikit pembahasan puasa Arofah yang mesti kami bahas pada posting selanjutnya. Semoga Allah memudahkan kita beramal sholih dengan ikhlas dan sesuai dengan petunjuk Nabi-Nya.

Diselesaikan di Panggang, Gunung Kidul, 27 Dzulqo’dah 1430 H
Penulis: Muhammad Abduh Tuasikal
Artikel http://rumaysho.com


[1] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[2] Lihat Taisir Karimir Rahman, ‘Abdurrahman bin Nashir As Sa’di, hal. 923, Muassasah Ar Risalah, cetakan pertama, tahun 1420 H.
[3] Zaadul Masiir, Ibnul Jauziy, 6/153, Mawqi’ At Tafasir.
[4] Lihat Tafsir Juz ‘Amma, Syaikh Muhammad bin Sholih Al ‘Utsaimin, hal. 159, Darul Kutub Al ‘Ilmiyyah, cetakan tahun 1424 H.
[5] Latho-if Al Ma’arif, Ibnu Rajab Al Hambali, hal. 469, Al Maktab Al Islamiy, cetakan pertama, tahun 1428 H.
[6] HR. Abu Daud no. 2438, At Tirmidzi no. 757, Ibnu Majah no. 1727, dan Ahmad no. 1968, dari Ibnu ‘Abbas. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Syaikh Syu’aib Al Arnauth mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih sesuai syarat Bukhari-Muslim.
[7] Latho-if Al Ma’arif, hal. 456.
[8] Lihat Latho-if Al Ma’arif, hal. 457 dan 461.
[9] Idem
[10] Latho-if Al Ma’arif, hal. 458.
[11] Idem
[12] Lihat Tajridul Ittiba’, Syaikh Ibrahim bin ‘Amir Ar Ruhailiy, hal. 116, 119-121, Dar Al Imam Ahmad.
[13] Yang jadi patokan di sini adalah bulan Hijriyah, bukan bulan Masehi.
[14] HR. Abu Daud no. 2437. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih.
[15] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459.
[16] HR. Muslim no. 1176, dari ‘Aisyah
[17] Fathul Bari, 3/390, Mawqi’ Al Islam
[18] Latho-if Al Ma’arif, hal. 459-460.
[19] Lihat Fathul Bari, 3/390 dan Latho-if Al Ma’arif, hal. 460.
[20] HR. Muslim no. 1348, dari ‘Aisyah.
[21] Lihat Mirqotul Mafatih Syarh Misykatul Mashobih, Al Mala ‘Alal Qori, 9/65,Mawqi’ Al Misykah Al Islamiyah.
[22] HR. Tirmidzi no. 3585. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini hasan.
[23] Lihat Tuhfatul Ahwadziy, Muhammad ‘Abdurrahman bin ‘Abdurrahim Al Mubarakfuri Abul ‘Ala, 8/482, Mawqi’ Al Islam.
[24] HR. Muslim no. 1162, dari Abu Qotadah.
[25] Lihat Fathul Bari, 6/286.
[26] Lihat Syarh Muslim, An Nawawi, 4/179, Mawqi’ Al Islam.
[27] HR. Tirmidzi no. 750. At Tirmidzi mengatakan bahwa hadits tersebut hasan shohih. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih
[28] HR. Tirmidzi no. 751. Syaikh Al Albani mengatakan bahwa sanad hadits ini shahih.
[29] Lihat Shahih Fiqih Sunnah, Abu Malik, 2/137, Al Maktabah At Taufiqiyah.
[30] Lihat Al Mawdhu’at, 2/565, dinukil dari http://dorar.net
[31] Lihat Al Fawa-id Al Majmu’ah, hal. 96, dinukil dari http://dorar.net
[32] Lihat Irwa’ul Gholil no. 956.